Rabu, 27 Juni 2007

Upaya Implementasi

Pengetahuan ialah pengenalan yang akrab tentang sesuatu yang berdasarkan pengalaman, misalnya pengetahuan tentang kota, sungai, gunung, penduduk dan lain-lain. Ilmu ialah pengetahuan yang telah disistematikkan, yaitu disusun secara teratur mengenai suatu bidang tertentu, yang jelas batas-batas sasarannya, cara kerjanya dan tujuannya. Bila pengetahuan tentang gunung, sungai, kota, penduduk dan sejarahnya disistematikkan, maka jadilah ilmu bumi.
Pengetahuan lahir dari pengamatan yang cermat melalui panca indra, baik tanpa maupun dengan pertolongan alat-alat. Pengamatan alam yang dilakukan oleh para pencinta alam, yang dikenal dengan sebutan “natural Philosopher”[1], membawa mereka kepada renungan-renungan yang menghasilkan kesimpulan yang spekulatif. Maka wajar bila kesimpulan mereka itu banyak salahnya.
Ilmu (sains) tidak cukup dengan pengamatan dan renungan, tetapi menuntut kelengkapan lain, yaitu pengumpulan, pengukuran, dan penghitungan (pengolahan) data, meningkat dari hal-hal yang khusus kepada suatu kesimpulan umum (induksi) atau sebaliknya dari yang umum kepada yang khusus (deduksi), dan berakhir pada yang khusus (deduksi), dan berakhir pada lesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal (logika). Sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal disebut rasional.[2]
Semua pengamatan harus dicurigai dan harus diuji berulang-ulang (eksperimen) oleh beberapa orang di beberapa tempat dengan memperhatikan berbagai kondisi. Kesimpulan dianggap benar bila hasil uji ulang selalu sama. Uji ulang atau eksperimen berlaku terbatas bagi materi saja, sehingga kebenaran ilmu ditunjang oleh atau hanya berlaku bila memenuhi syarat: rasional, material, empiris dan kuantitatif.
Akan tetapi yang disebut ada dalam (menurut) ilmu ternyata tidak selalu ada dalam arti material. Ilmu atau sains mengakui bahkan menggunakan sesuatu yang hanya dalam konsep saja, misalnya berat jenis benda. Kemudian ternyata juga bahwa tidak semua kebenaran yang diakui oleh ilmu harus melalui uji coba ulang; misalnya kebenaran bahwa seorang anak dilahirlkan oleh seorang yang mengaku sebagai ibunya, tidak mungkin dibuktikan dengan coba ulang. Selanjutnya ada pula yang tidak mungkin diukur dan dinyatakan secara kuantitatif, misalnya cinta, benci, susah, sedih dan sebangsanya yang menyangkut perasaan. Sedang kesimpulan yang rasional ialah kesimpulan yang rasional ialah kesimpulan yang metode mengambi kesimpulannya dianggap benar; shingga yang logis tidak selalu benar, tetapi yang benar pasti logis.[3]
Uraian di atas menunjukkan bahwa kebenaran filsafat adalah kebenaran yang subyektif dan spekulasi, sedangkan kebenaran ilmu bersifat obyektif relative. Kita menyaksikan bahwa seribu filsuf bias seribu macam pula pendapatnya tentang satu hal yang sama, dan yang hari ini benar menurut ilmu, besok bias salah juga menurut ilmu.
Ilmu itu jujur. Para ilmuwan yang jujur pasti mempunyai sikap konsisten, yaitu bila di dalam ilmu mengakui adanya aksioma dan kepercayaan, maka dalam agama pun akan bersikap yang sama. Jadi baik agama maupun ilmu keduanya dimulai dengan dasar yang sama, yaitu keyakinan akan satu kebenaran yang dalam bahasa agama disebut iman.[4]
Hanya ada satu sumber ilmu, yaitu Allah SWT. Imu-Nya itu disampaikan kepada manusia dalam dua bentuk; pertama dalam bentuk yang diwahyukan dan terkumpul dalam kitab suci, dikenal dengan sebutan ayat-ayat tanziliyyah; kedua dalam bentuk yang terpampang, yaitu alam semesta yang mencakup bumi dengan segala isinya, dikenal dengan sebutan ayat-ayat kauniyyah. Kebenaran ayat-ayat yang tertulis bersifat apriori; mempelajari ayat-ayat tersebut hukumnya fardlu ‘ain, artinya wajib setiap muslim dan muslimat. Kebenaran ayat-ayat kauniyyah bersifat aposteriori, artinya kebenaran tersebut harus digali, dikaji, dan teliti lebih dahulu. Mempelajari ayat-ayat kauniyyah hukumnya fardlu kifayah (spesialisasi), terutama diserahkan kepada ilmuwan (ulil albab) dalam bidangnya masing-masing.
Kegiatan apapun yang dilakukan oleh seorang muslim tujuannya hanya satu, yaitu keridlaan allah, dikenal dengan sebutan tauqidul qashdi. Seperti tercermin pada do’a iftitah setiap kali melakukan sholat; “Sesungguhnya shalatku, segala kegiatanku, hidupku, dan matiku, kupersembahkan hanya kepada Allah semata:. Maka ilmuwan yang pergi ke masjid untuk bersujud kepada-Nya dan yang pergi ke laboratorium untuk mengungkapkan sunnah-Nya, keduanya bernilai ibadah. Sarjana-sarjana muslim bertolak dari tauhid (niat karena allah) dan bertujuan tauhid pula (keridlaan Allah), maka dalam Islam tidak ada ilmu yang sekuler. Dalam sejarahpun tak pernah ada ilmuwan muslim dihukum atas nama agama karena kegiatan atau dalil;-dalil ilmiahnya.
Jihad berarti sungguh-sungguh, baik dalam usaha memahami kitab suci maupun dalam usaha memahami ayat-ayat kauniyyah; asal saja kegiatan-kegiatan itu dilandasi niat karena allah, maka bernilai ibadah di sisi-Nya. Karena itu ilmuwan muslim yang meniggal di gunung, di lembanh, di dasar laut atau di laboratorium, dalam kegiatan mengungkapkan ayat-ayat allah, atau dalam usahanya mengetahui sunnah-Nya, amak dia itu mati syahid.
A. Konsep Ajaran Islam
Ilmu dalam Islam muncul karena perintah Allah dalam Al-Qur’an, baik ilmu untuk kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat. Semua amal, baik lahir maupun bathin, harus didasari ilmu. Tanpa ilmu semua amal tidak dapat mencapai hasil yang optimal. Iman kepada Allah harus dengan ilmu, ibadah harus dengan ilmu, bahkan makan dan tidur pun harus dengan ilmu pula.
Keutamaan berilmu menurut Al-Qur’an, diantaranya adalah:
1. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakaan. Menciptakan manusia dari segumpal darah yang melekat. Bacalah Tuhanmu yang MahaMulia. Yang mengajar dengan kalam. Mengajar manuisa apa-apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. 96:1-5)
2. “Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tentangnya engkau tidak mempunyai pengetahuan, karena pendengaran, pengelihatan, serta hati semuanya itu akan dimintakan pertanggungjawaban pemiliknya.” (Qs. 35:28)
Keutamaan berilmu menurut Rasulullah SAW, diantaranya adalah:
1. “Menuntut ilmu itu wajib atas semua Muslim dan Muslimat,” (HR. Abu Abdil Barr dari Anas)
2. “Sebaik-baik shodaqoh adalah apabila seorang muslim mempelajari ilmu kemudian mengajarkannya kepada saudara-saudaranya sesame Muslim,” (HR. ibnu Majah)
Dengan mentaati perintah Al-Qur’an dan Rasul-Nya maka umat Islam selama hamper 9 abad (600-1500 M) merupakan umat yang cemerlang. Abad-abad kegelapan dunia Barat justru sebaliknya bagi dunia Islam. Mula-mula terjadilah perluasan kekuasaan islam, yaitu dimulai oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiqi dan Umar ibnu Khathab yang kemudian dilanjutkan oleh Khalifah bani Umayyah dan Abassiyah. Berturut-turut jatuh ke dalam kekuasaan Islam; Damaskus (629 M), Bagdad (637 M), Mesir sampai Maroko (645 M), Parsi (646 M), Samarkand (680 M), dan Andalusia (719 M).
Perbedaan yang mendasar antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama adalah: Pertama, dasarnya berbeda. Ilmu bersandar pada etos otonomi pemahaman. Intinya ilmu mempunyai sikap skeptis dan tidak mudah percaya. Sedangkan agama sebaliknya, dasar kepercayaan dan kepasrahan dalam kehendak otoritas lain, terutama otoritas Tuhan. Jadi, dalam dunia keilmuan keetidakpercayaan (sebelum terbukti) adalah sebuah keutamaan, dalam dunia keagamaan, kepercayaanlah yang menjadi keutamaan.
Kedua, ilmu relative lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan baru asalkan masuk akal dan ditunjang bukti factual yang memadai. Agama sebaliknya, meski umumnya diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya untuk memahami wahyu dan kitab suci, dalam kenyataannya agama cenderung defensif terhadap pemahaman baru.
Ketiga, bahasa yang diguanakan dalam agama lebih berupa bahasa mitos, penuh metafora ataupun retorika, sementara bahasa ilmu adalah bahasa factual, lugas, dan literal. Tentu ilmu bisa memperlihatkan fakta-fakta yang memberi isyarat pada pemahaman misteri terdalam itu, tetapi sesunguhnya ihwal misteri dan makna eksistensial adalah di luar kewenangan ilmu.
Meskipun demikian, selain memperhatikan berbagai berbagai perbedaan mendasar itu, tentu kita bisa melihat berbagai kemungkinan korelasi antara keduanya diantaranya persoalan zaman yang dihadapi. Setelah kita melihat berbagai perbedaan mendasar antara ilmu dan agama, sekarang kita akan melihat kemungkinan titik temu antara keduanya. Sebenarnya, ilmu mampu membantu agama merevitalisasi diri dengan beberapa cara.
Pertama, kesadaran kritis dan sikap realistis yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguna untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama, bukan untuk menghancurkan agama, melainkan untuk menemukan hal-hal yang lebih esensial dari agama. Sebaliknya, agama pun sebetulnya dapat membantu ilmu agar tetap manusiawi, dan selalu menyadari persoalan-persoalan konkret yang mesti dihadapinya. Agama bisa selalu mengingatkan bahwa ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran dan makna terdalam kehidupan manusia. Dalam dunia manusia, ada realitas pengalaman batin yang membentuk makna dan nilai. Dan itulah wilayah yang tak banyak disentuh oleh ilmu, wilayah yang ambigu tetapi riil.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan. Sebaliknya, agama bisa juga selalu mengingatkan ilmu dan teknologi untuk senantiasa membela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan di atas kemajuan pengetahuan itu sendiri. Misalnya, kalau demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mesti mengorbankan manusia, maka seyogyanya terjadi adalah sebaliknya.
Ketiga, lewat temuan-temuan terbarunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan ulang keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama itu sendiri dari bahaya stagnasi dan pengaratan. Sebaliknya, agama dapat juga membantu ilmu memperdalam penjelajahan di wilayah kemungkinan-kemungkinan adikodrati atau supranatural. Apalagi jika wilayah-wilayah itu memang merupakan ujung tak terelakkan dari aneka pencarian ilmiah yang serius saat ini.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknlogi pun dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idealisme-idealismenya secara konkret, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum. Sebaliknya, agamapun dapat selalu menjaga sikap mental manusia agar tidak mudah terjerumus dalam mentalitas pragmatis-instrumental, yang menganggap bahwa sesuatu dianggap bernilai sejauh jelas manfaatnya dan bisa diperalat untuk kepentingan kita.
B. Konsep Fisika
Perkembangan pengetahuan pada zaman purba berawal dari kegiatan manusia mengamati peristiwa-peristiwa alam. Hal ini terjadi di daerah Mesir, Babilonia dan Yunani. Pengamatan yang dilakukan oleh orang Mesir dan Babilonia melahirkan pengetahuan praktis, sedangkan pemikiran orang Yunani melahirkan filsafat dan seni. Mereka antara lain ialah Thales, Pythagoras, Leukippos, Demokritos dan Aristoteles. Pengetahuan di Yunani berkembang dengan baik sejak abad ke-5 sebelum masehi (SM).
Dalam abad pertengahan di Eropa dapat dikatakan tidak ada perkembangan pengetahuan. Sains berkembang di daerah Timur Tengah dan dilakukan oleh para ilmuwan muslim dan meliputi ilmu kimia, fisika, astronomi, matematika, kedokteran dan farmasi. Diantara nama-nama ilmuwan muslim yang terkenal ialah Al-Biruni, Ibnu Sina, Al-battani, dan Umar Khayyam.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang merupakan sumbangan ilmuwan muslim ini kemudian menyebar kedaratan eropa melalui daerah Spanyol yang menjadi wilayah kekuatan islam. Dengan adanya kegiatan intelektual ilmuwan muslim baik yang ada di daerah Arab maupun di daerah Spanyol mengakibatkan adanya kemajuan dalam proses berfikir masyarakat di Eropa pada zaman Renaisans. Nama-nama para ilmuwan eropa antara lain ialah Coppernicus, Leonardo da Vinci, Paracelsus, Kepler dan Galileo.
Perkembangan sains modern di mulai sejak abad ke-18. ilmu kimia, biologi dan fisika serta ilmu pengetahuan lain berkembang dengan pesat baik teori maupun praktek. Kemajuan dalam berbagai ilmu pengetahuan ini ditunjang oleh adanya perkembangan teknologi.
Secara sederhana pengertian fisika ialah ilmu pengetahuan atau sains tentang energi, transformasi energi, dan kaitannya dengan zat. Sebagaimana sains yang lain fisika juga mengalami perkembangan yang pesat terutama sejak abad ke-19. Oleh karena itu, orang membagi fisika dalam fisika klasik dan fisika modern. Fisika klasik merupakan akumulasi dari pengetahuan, teori-teori, hukum-hukum, tentang sifat zat dan energi yang sebelum tahun 1900 mengalami penyempurnaan. Adapun bidang-bidang yang menjadi bahasannya meliputi mekanika, akustik, termometri, termodinamika, listrik dan magnet, optika. Bidang bahasan ini tetap merupakan dasar dari kerekayasaan dan teknologi, serta merupakan awal pelajaran fisika. Sekitar tahun 1900 terjadi beberapa fenomena anomali dalam fisika klasik sehingga melahirkan fisika modern.
Fisika modern mempelajari struktur dasar suatu zat, yakni molekul, atom, inti serta partikel dasar. Teori relativitas menunjukkan bahwa dalam hal jarak yang amat besar beserta kecepatan yang amat tinggi, teori fisika klasik kurang memadahi. Sejak 1925 teori kuantum tentang zat serta teori relativitas dapat dikatakan mendominasi fisika.
Fisika modern juga memberikan dasar serta penjelasan yang umum kepada fisika klasik. Sebagai contoh fisika modern menunjukkan bahwa energi dan zat adalah dua hal yang dapat dipertukarkan, artinya nergi dapat hilang dari system dan timbul kembali sebagai zat dan demikian pula sebaliknya. Tetapi ini bukam berarti bahwa hukum kekekalan energi dalam fisika klasik atau hukum kekekalan zat dalam ilmu kimia boleh disingkirkan. Untuk hal-hal tertentu misalnya pada partikel dengan kecepatan tinggi dan energi yang besar, hukum-hukum tadi menjadi hukum kekekalan zat dan energi.
C. Konsep Integrasi
Apakah ilmu tidak berlawanan dengan Islam? Terbukti tidak, sebab ayat-ayat dan hadits serta pernyataan-pernyataan ahli hikmah yang telah dikemukakan di atas justru mendorong para pemeluk Islam untuk mempelajarai apa yang terlihat (alam) dan apa yang tersurat (kitab). Kegiatan serta perpaduan fakultas fakir dan dzikir, merupakan bukti/tanda syukur dan cinta kepada Allah. Sarjana muslim bertolak dari tauhid, (Qs. 3:190-191), menganggap hokum-hukum alam sebagai sunatullah yang nyata, tertib dan tetap sesuai dengan firman Allah: “Tak ada perubahan dalam sunnah kami” (Qs. 27:77). Karena itu dalam sejaran Islam tak pernah ada sarjana yang mengalami hukuman atau dibunuh atas nama agama, seperti Coppernicus (1543 M), Bruno (1600 M), Galileo Galilei (1642 M) dan Miguel Serveto (1553 M). Sedang segala kesimpulan objektif hasil telaah ilmu tak pernah bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits, malah merupakan bukti pelaksanaan perintah al-Qur’an dan hadits.
Dr. Hussen Nasr (dikutip dari Poeradisastra, 1978) mengemukakan: “Ilmu pengetahuan Islam lahir sebagai hasil perkawinan antara semangat yang memancar dari wahyu Qur’an dengan ilmu-ilmu yang ada dari berbagai peradaban sebelum Islam, yang kemudian diolah melalui daya rohaniyah menjadi sesuatu yang baru yang berbeda tetapi bersinambungan dengan yang ada sebelumnya. Sifat internasional dan kosmopolitas Islam berasal dari watak internasional wahyu Islam, menunjukkan bahwa Islam pencinta ilmu pengetahuan pertama yang benar-benar bersifat internasional dalam sejarah umat manusia.”[5]
Hubungan antara agama dan sains tidak selalu harmonis. Seorang Skotlandia yang lahir di Beijing, Ian G. Barbour, yang merupakan doctor ilmu fisika lulusan Universitas Chicago sekaligus pemegang ijazah teologi, meneliti dan mengelompokkan hubungan antara sains dan agama ke dalam empat pendekatan, yakni: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Keempatnya didasarkan pada premis bahwa baik sains maupun agama diakui klaim kognitif masing-masing dalam deskripsi tentang alam fisik. Konflik terjadi ketika teori sains berbenturan dengan ajaran agama yang diterjemahkan secara harfiah pada masanya.
Konflik tidak terjadi bila sains dan agama tidak bersinggungan, yang disebut independensi. Dalam pendekatan independensi, sains dan agama terpisah secara otonom. Keduanya berjalan sendiri-sendiri, menjawab persoalan yang berbeda, memakai metode yang berbeda, dan melayani fungsi yang berbeda. Sains menelusuri hubungan sebab-akibat di antara fenomena-fenomena alam dan berurusan dengan fakta obyektif, sedangkan agama berurusan dengan nilai-nilai dan makna luhur. Keduanya memiliki domain masing-masingyang independent dan dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan jarak aman satu sama lain.
Pendekatan ketiga adalah dialog. Dalam pendekatan ini, metode sains dan metode agama saling dibandingkan sehingga menampakkan kemiripan dan perbedaannya. Dialog bisa berlangsung ketika sains menyentuh persoalan di luar wilayahnya dan agama menawarkan jawabannya. Dialog juga terjadi ketika konsep sains digunakan sebagai analogi untuk membahas hubungan Tuhan dengan dunia. Ilmuwan dan teolog menjadi mitra dialog dalam melakukan refleksi kritis atas topic-topik tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.
Pendekatan terakhir adalah integrasi, di mana kemitraan yang sistematis dilakukan secara ekstensif antara sains dan agama dalam mencari titirk temu antara keduanya. Dalam integrasi, doktrin tertentu keyakinan agama dirumuskan kembali ke dalam argumentasi penjelasan ilmiah. Integrasi berlangsung ketika system filosofi seperti filsafat proses digunakan untuk menafsirkan pemikiran ilmiah dan agama dalam kerangka konseptual bersama.
D. Implementasi Integrasi Fisika dan Islam
Implementasi
Metodologi
Institusional
Ø Semua fakultas ilmu-ulmu kealaman, kemanusiaan, dan keagamaan berada dalam satu pendidikan tinggi.
Konsepsional
Ø Pendidikan adalah bagian dari pembentukan manusia muslim yang kaffah.
Ø Penelitian adalah bagian dari peningkatan kualitas tauhid sebagai khalifah Allah dimuka bumi.
Ø Pengabdian pada masyarakat adalah bagian dari ibadah yang merupakan manifestasi dari proses tasyakur manusia sebagai abdi Allah.
Operasional
Ø Kurikulum pendidikan semua fakultas harus memasukkan konsep-konsep fundamental ilmu-ilmu kalam, fiqih, tasawuf, dan hikmat sebagai pelajaran wajib di tingkat pertama bersama.
Ø Silabus dan buku daras semua fakultas harus memasukkan ayat-ayat al-qur’an yang bersesuaian dengan disiplin ilmu tersebut.
Ø Upacara do’a bersama harus dijadikan bagian pembukaan setiap proses pembelajaran seperti kuliah dan praktikum.
Ø Jadwal pengajaran tak boleh bertentangan dengan jadwal ritual ibadah wajib keislaman.
Ø Prohram penelitian tak boleh bertentangan dengan nilai-nilai fundamental akidah dan syariah.
Ø Program pengabdian pada masyarakat tidak boleh bertentangan dengan tujuan dan cara pengabdian masyarakat pada Yang Maha Pencipta.
Arsitektural
Ø Setiap kampus harus mempunyai masjid sebagai pusat kehidupan bermasyarakat, berbudaya, dan beragama.
Ø Setiap fakultas harus mempunyai mushola.
Ø Perpustakaan harus meliputi semua pustaka ilmu-ilmu kealaman, kemanusiaan, dan keagamaan,
Pendidikan islam integratif dan interkoneksitas berupaya memadukan dua hal yang sampai saat ini masih diperlakukan secara dikotomik, yakni mengharmoniskan kembali relasi antara Tuhan-alam dan wahyu-akal, dimana perlakuan secara dikotomik terhadap keduanya telah mengakibatkan keterpisahan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. Dari sisi lalu muncul anggapan bahwa ilmu yang wajib ‘ain dipelajari adalah ilmu agama, sementara ilmu umum hanya wajib kifayah. Bidang ilmu yang berkarakteristik integratif sudah tentu memiliki interkoneksitas antarbagian keilmuannya. Walaupun begitu, masing-masing disiplin ilmu tetap memiliki karakter dan posisi tersendiri yang dapat dibedakan satu dengan yang lain. Hal ini, menurut buku ini, karena “nama” dan “batas” antara satu ilmu dengan ilmu yang lain memiliki indentitasnya sendiri-sendiri. Namun, bila “nama” dan “batas” keilmuan tersebut makin diperbesar lagi sasarannya, maka makin tampak keutuhan ilmu tadi.
Pertanyaan klasik yang selalu menjadi perdebatan umum dalam dikotomi adalah; pengetahuan manusia itu “bawaan” (inborn) atau “bentukan” (aquired)?. Pertanyaan ini memiliki rangka bangun karakter sejenis dalam perdebatan umum pencarian ilmu pengetahuan tentang asal mula kehidupan. Pada sisi lain, awal mula perdebatan dikotomi ilmu dalam Islam di mulai dengan kemunculan penafsiran dalam ajaran Islam bahwa Tuhan pemilik tunggal ilmu pengetahuan (Maha ‘alim). Ilmu pengetahuan yang diberikan kepada manusia hanyalah bagian terkecil dari ilmu-Nya, dan manusia diberikan kebebasan unutk meraih sebanyak-banyaknya.
Berdasarkan argumen epistemologis, ilmu pengetahuan antroposentris dinyatakan bersumber dari manusia dengan ciri khas akal atau rasio sedangkan ilmu pengetahuan teosentris dinyatakan bersumber dari Tuhan dengan ciri khas “kewahyuan”. Dari sinilah lahir pertentangan antara agama yang menekankan pada pengetahuan kewahyuan dan filsafat yang menekankan pada akal manusia.
Perdebatan dikotomi ilmu tersebut semakin meluas dan mendalam karena dipicu oleh fanatisme agama. Akibatnya sering kali perdebatan dikotomi ilmu berakibat pada pengelompokkan-pengelompokkan ilmu yang terpisah-pisah dan menjalar ke berbagai aspek kehidupan. Seperti halnya pengelompokkan ilmu-ilmu yang Islam dengan ilmu-ilmu yang tidak Islam menjalar menjadi perdebatan akumulatif wilayah suatu bangsa seperti kelompok ilmu “Barat” dan “Timur”. Kelompok ilmu yang termasuk ilmu-ilmu Barat atau umum atau ilmu yang tidak Islam adalah filsafat, logika, dan kedokteran. Sedangkan lawannya, yaitu ilmu-ilmu Islam atau agama adalah fikih, teologi, sufisme, dan tafsir.
Dikotomi kedua kelompok tersebut mengidentikkan dengan kecenderungan masing-masing kelompok ilmu pada objek Fisik (tubuh) dan metafisik (ruh). Barat cenderung mengutamakan objek fisik dan Timur mengutamakan objek metafisika[6]. Meskipun anggapan ini tidak sepenuhnya benar, namun telah menjadi cirri umum antara Barat dan Timur. Sebagian orang menganggap ilmu agama sebagai ilmu yang sacral dan lebih tinggi kedudukannya[7] dari pada ilmu umum tanpa penjelasan yang tepat. Sedangkan ilmu umum diistilahkan dengan ilmu-ilmu profane, yaitu ilmu-ilmu keduniawian yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logika[8]. Ilmu umum berkembang dan diidentikkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa penjelasan yang jelas pula.
Penyebab dari kemunculan dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu agama menurut Azyumardi azra adalah bermula dari kecelakaan sejarah (historical accident) yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha[9]. Salah satu faktor mencolok lainnya penyebab dikotomi ilmu adalah fanatisme dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam kehidupan bermasyarakat melahirkan sikap eksklusivisme.
Pada tataran pengembangan perilaku warga kampus dirumuskan ketentuan menyangkut orientasi pengembangan, yaitu;
1. Memperdalam spiritual
2. Memperhalus akhlakul karimah
3. Memperluas ilmu pengetahuan
4. Memperkukuh profesionalisme.
Upaya mengintegrasikan ilmu dan agama selama ini tampaknya dirasakan sebagai suatu hal yang sulit dilakukan. Ilmu yang sesungguhnya adalah hasil dari kegiatan observasi, eksperimen, dan kerja rasio pada satu sisi dipisahkan dari agama Islam yang bersumber pada kitab suci Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sesungguhnya hanyalah merupakan hasil temuan manusia dari pergulatan penelitiannya. Pada hakikatnya keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memahami alam dan kehidupan ini. Keduanya berfungsi untuk menyingkap tabir rahasia alam atau social yang dibutuhkan oleh umat manusia untuk memenuhi kebutuhan dan meraih kebahegiaan hidupnya.
E. Penutup
Integrasi sains dan agama dapat dilakukan dengan mengambil inti filosofis ilmu-ilmu keagamaan fundamental islam sebagai paradigma sains masa depan. Inti filosofis itu adalah adanya heirarki epistemologis, aksiologis, kosmologis, dan teologis yang bersesuaian dengan heirarki integralisme: materi, energi, informasi, nilai-nilai dan sumber. Proses integrasi ini dapat dianggap sebagai islamisasi sains sebagai bagian dari proses islamisasi peradaban masa depan.
Kultivitas ilmu-ilmu terpadu dalam dunia Islam jelas bergantung pada system pendidikan yang memungkinkan transmisi dan implantasi ilmu pengetahuan diseluruh bentuknya dalam sebuah sikap yang terpadu dan holistic. System pendidikan Islam seharusnya menekankan pada seluruh ilmu keagamaan sekaligus juga mencakup semua bentuk ilmu pengetahuan dan sains.
Daftar Pustaka
Achmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan. Semarang: IAIN Walisongo Press.
Bagir, Zainal Abidin. Et. Al. 2005. Integrasi Ilmu Dan Agama: Interpretasi Dan Aksi. Cet. 1. Bandung: Mizan.
Daradjat, Zakiah. Et. Al. 1997. Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Jakarta: Departemen Agama RI.
Gazalba, Sidi. 1992. Ilmu, Filsafat Dan Islam: Tentang Manusia Dan Agama. Cet. 3. Jakarta: Bulan Bintang.
Jammer, Max. 2004. Agama Einstein: Teologi Dan Fisika. Yogyakarta: Yayasan Relief Indonesia.
Kusumamihardja, Supan. 1985. Studia Islamica. Cet. II. Jakarta: Girimukti Pusaka.
Leahy, Louis. 2001. Sains Dan Agama Dalam Konteks Zaman Ini. Cet. V. Yogyakarta: Kanisius.
Muliawan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu Dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun. 1986. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Ed. 1,. Cet. II. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Naufal, Abdu Razzaq. 1985. Islam Memadukan Agama Dan Dunia. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Ngani, Nico. Et. Al. Editor. 1994. Dialog Antara Teolog Dan Teknolog. Yogyakarta: Liberty.
Poedjiadi, Anna. 2005. Sains Teknologi Masyarakat: Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pranggono, Bambang. 2005. Percikan Sains Dalam Al-Qur’an. Bandung: Khazanah Intelektual.
Semiawan, Conny R. Et. Al. 1999. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Cet. IV. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tyler, Ralph W. 2005. Paradigma Kurikulum Dan Pembelajaran Antisipatoris Masyarakat Global. Malang: Kutub Minar.
ZAR, Sirajuddin. 1997. Konsep Penciptaan Alam Dalam Pemikiran Islam, Sains, Dan Al-Qur’an. Ed. 1., Cet. 2. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada.
[1] Kusumamihardja, Supan. 1985. Studia Islamica. Cet. II. Jakarta: Girimukti Pusaka, hal. 9.
[2] Ibid.
[3] Ibid. hal. 10.
[4] Ibid. hal. 12.
[5] Kusumamihardja, op cit. hal. 338.
[6] C.A.Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, (Jakarta:PustakaObor Indonesia,2002), cet. ke-4, hlm.1.
[7] Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam, dalam abdul Munir mulkhan,dkk., Religiusitas Iptek, (yogyakarta:Fakultas tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dab Pustaka Pelajar,1998), hlm. 87.
[8] Ibid., hlm. 78.
[9] Ibid., hlm. 78.

Tidak ada komentar: