Rabu, 27 Juni 2007

Masih Belajar

INTEGRASI SAINS DAN AGAMA
(Upaya Memadukan Fisika Kuantum dengan Al-Qur'an)
Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Qs. Ali Imran [3]: 190-191)
1. Pendahuluan
Antara ilmu (sains) dan agama sebenarnya ada perbedaan cukup mendasar yang perlu dipertimbangkan sebelum kita bicara tentang kemungkinan korelasi antara keduanya. Pertama, mid-set dasarnya berbeda. Ilmu bersandar pada etos otonomi pemahaman. Seperti ditekankan Francis Bacon dan Newton, sikap ilmiah sejati berangkat dari keberanian berfikir dan mengemati sendiri tanpa bersandar pada otoritas pendapat orang lain atau instansi supranatural apa pun. Newton bahkan menekankan sikap keraguan lebih radikal. Misalnya, meskipun normalnya air mengalir ke bawah, seorang ilmuwan sejati mesti melihat kemungkinan lain, bahwa air bisa saja mengalir ke atas, atau api membeku, dan sebagainya. Pendeknya, sikap skeptis dan tak mudah percaya adalah kodrat seorang ilmuwan, sementara agama tentu saja kebalikannya. Sikap dasarnya adalah peecaya dan kepasrahan pada kehendak otoritas lain, terutama otoritas Tuhan. Jadi, jika dalam dunia keilmuan ketidakpercayaan (sebelum terbukti) adalah sebuah keutamaan, dalam dunia keagamaan, kepercayaanlah yang menjadi keutamaan.
Kedua, ilmu relative lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan baru asalkan masuk akal dan ditunjang bukti factual yang memadai. Agama agak sebaliknya, meski umumnya diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya untuk memahami wahyu atau kitab suci, dalam kenyataannya agama-agama cenderung sangat defensive terhadap pemahaman-pemahaman baru, bahkan agak tabu untuk memerkarakan dirinya sendiri. Tidaknlah menherankan jika dibandingkan dengan perkembangan ilmu yang sangat pesat, agama sering terasa tertinggal jauh. Bisa saja seorang ilmuwan yang sangat intelektual dalam keilmuannya tetapi dalam hal keagamaan tetap kekanak-kanakan.
Ketiga, sebenarnya ranah utama wacana agama-agama adalah ranah misteri-misteri terdalam kehidupan beserta makna di luar batas jangkauan ilmu-ilmu empiric. Bahasa yang digunakannya pun berbeda. Bahasa agama-agama lebih berupa bahasa mitos, penuh metafora ataupun retorika, sementara bahasa ilmu adalah bahasa factual, lugas, dan literal. Tentu ilmu bisa memperhatikan fakta-fakta yang memberi isyarat pada pemahaman misteri terdalam itu, tetapi sesungguhnya ihwal misteri dan makna eksistensial adalah di luar kewenangan ilmu. Tidaklah mengherankan jika pencampuradukan antara fakta dan makna itu sering melahirkan ketegangan-ketegangan yang sulit. Ihwal "evolusi" misalnya, jika kitab-suci dianggap sebagai laporan lugas-faktual tentang proses evolusi, maka akan muncullah di sana berbagai friksi dengan wacana factual tentang evolusi dari sudut ilmu.
Meskipun demikian, selain memerhatikan berbagai perbedaan mendasar itu, tentu bisa pula kita melihat berbagai kemungkinan korelasi antara keduanya. Pertama-tama akan kita lihat dahulu persoalan-persoalan zaman yang dihadapi, baik oleh ilmu maupun oleh agama.[1]
2. Integrasi Sains dan Agama
Dalam pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisika yang sama, dan tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah mengungkapkan ayat-ayat Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi, kita bisa mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama, dengan catatan bahwa ia memiliki metodologi dan bahasan sendiri.[2]
Dari sudut pandang Al-Qur'an, ada beberapa cara untuk memperoleh informasi mengenai dunia luar, antara lain; kesan-kesan indra, yaitu kesan yang diterima oleh panca indra kita melalui eksperimentasi dan observasi; penggunaan akal, dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa kita tidak berhenti pada level data empiris tapi meneruskan lebih lanjut kepada penalaran akal; dan intuisi, level paling tinggi menurut al-Qur'an karena tidak setiap orang dan di setiap waktu dapat menggunakannya, yaitu berwujud wahyu yang khusus diperuntukkan bagi nabi, dan pada level yang lebih rendah adalah ilham.
a. Sains
Dalam pandangan al-Qur'an, kajian tentang alam benar-benar merupakan kajian tentang ayat-ayat Tuhan. Oleh karena itu, kerja ilmiah adalah sebentuk kegiatan religius. Kajian ilmiah tentang alam, dalam konteks Islam, memiliki cirri-ciri berikut:[3]
1. Sains dalam pandangan Islam haruslah ditempatkan di dalam kerangka pandangan-dunia Islam. Ia bersifat holistic dan diharapkan menunjukkan kesatuan alam yang merupakan indikasi keesaan hakikat Sang Pencipta.
2. Tujuan pengkajian alam, dalam pandangan Islam, adalah membawa manusia kepada Tuhan dan mengungkapkan sifat-sifat-Nya.
3. Sains fisika dan biologi tidak mengungkapkan kepada kita seluruh aspek alam. Pengetahuan ilmiah harus ditempatkan di dalam sebuah kerangka metafisik, yang di dalamnya ada pengakuan terhadap tingkat-tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, dan sains dilaksanakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.
4. Sains modern telah mengebaikan teleology.
5. Dalam pandangan Islam, ada hierarki pengetahuan.
6. Di masa kita sekarang ini, sains-sains kemanusiaan, seperti psikologi dan sosiologi, berada di bawah pengaruh sains-sains fisika dan kealaman serta metodologinya.
7. Sains dalam pandangan Islam diharapkan memperlihatkan saling keterkaitan dari semua bagian alam semesta.
b. Fisika Kuantum
Persamaan relativitas umum Einstein memiliki beberapa solusi. Di antaranya adalah solusi-solusi yang secara tidak langsung menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini mengembang dan juga melambat. Jika demikian halnya, alam semesta yang ada sekarang ini merupakan hasil dari suatu ledakan. Jadi, ia memiliki permulaan, dan pastilah ada sebab pertama. Pengamatan Edwin Hubble pada 1930-an mengindikasikan bahwa galaksi-galaksi memang mengembang dengan cara seperti yang diprediksikan oleh relativitas umum. Beberapa orang ahli astrofisika – termasuk H. Bondi, T. Gold, dan F. Hoyle – dengan teori keadaan tunak (steady state), berupaya menghindari adanya permulaan tersebut dengan menyarankan penciptaan secara berkelanjutan. Beberapa fisikawan lain, termasuk de Sitter, Tolman, dan Dicke, megusulkan sebuah alam semesta yang berosilasi (oscillating universe), yang bergerak melalui siklus-siklus eksplosi (ledakan ke luar) dan implosi (pengerutan ke dalam) yang tak berkesudahan. Baik teori keadaan tunak maupun teori osilasi tidak bisa mengatasi problem-problem kosmologi yang berkembang sehingga tidak popular lagi. Karya-karya S. Hawking, G. Ellis, dan R. Penrose pada akhir 1960-an menunjukkan bahwa jika persamaan-persamaan relativitas umum Einstein sahih dan kondisi-kondisi tertentu yang mensyaratkannya terpenuhi, ruang dan waktu pasti memiliki permulaan yang secara kebetulan berbarengan dengan permulaan materi dan energi. Ini dianggap oleh beberapa fisikawan beriman sebagai argument kuat bagi penciptaan oleh Tuhan.
Dalam tiga puluh tahun terakhir, beberapa kosmologi berupaya menghindari pemikiran tertang permulaan (yakni singularitas inisial) dengan mengusulkan bahwa alam semesta merupakan suatu fluktual kuantum yang muncul dari keadaan vakum yang berisi medan-medan kuantum. Tetapi, vakum kuantum mereka itu jauh dari vakum mutlak. Kita harus mengasumsikan hokum-hukum dan medan-medan tertentu sebagai latar belakang. Di lain pihak, J. Hartle dan S. Hawking, dengan menerapkan prinsip-prinsip mekanika kuantum pada tentuman besar dan menggunakan konsep waktu-imajiner, berupaya menunjukkan bahwa ruang-waktu bersifat terbatas tetapi tidak memiliki batas-batas. Jadi, dengan menafikan penciptaan dalam waktu, mereka berupaya menjadikan eksistensi Tuhan sebagai sesuatu yang berlebihan.[4]
c. Integrasi
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan dan sombong kepada ayat-ayat Kami, tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan masuk surga, sampai unta bisa masuk ke lubang jarum, dan begitulah balasan untuk orang yang terkutuk. (Qs. A'raf 7: 40)
Kitab tafsir menjelaskan bahwa ayat di atas mengandung ajaran keimanan dan akhlak. Orang kafir dan sombong tidak mungkin masuk surga, sebagaimana mustahilnya unta masuk lubang jarum. Tetapi benarkah itu mustahil?
Karl Schwarschild, pakar astrofisika menyatakan, black hole – lubang hitam – merupakan suatu objek aneh di ruang angkasa, dibungkus oleh sesuatu yang disebut event-horizon. Apa pun yang masuk melintas batas itu akan meluncur ke dalam, tidak akan bisa kembali. Menurut Timothy Ferrys, semakin mendekati dasar lubang, gravitasi akan semakin kuat menyedot, dahsyatnya bisa diumpamakan, apabila kaki yang masuk duluan, kepala ketinggalan. Maka seekor unta yang masuk ke sana akan terulur menjadi sebesar benang sehingga bisa masuk ke lubang jarum. Penggambaran yang dikemukakan Timothy persis seperti dalam surat Al A'raf di atas.
Walhasil unta tidak mustahil masuk lubang jarum. Dalam kitab tafsir At-Thabary disebutkan, Ibnu abbas membaca al jamalu yang berarti unta, dengan al jummalu yang berarti tali tambang pengikat kapal. Nah, tambang lebih tipis dari ukuran unta, lebih tidak mustahil masuk lubang black hole. Para ahli menyebut black hole sebagai gerbang, tempat masuk. Persis istilah Al Qur'an dalam ayat di atas, "abwabus sama'i", pintu gerbang langit. Di dasar lubang hitam, ruang dan waktu berhenti menjadi singularitas, persis sebagaimana pernyataan Al Qur'an surat Yaasin (36) ayat 64 yang menyatakan, "Bila Kami kehendaki tentu akan kami jadikan mereka tetap terpaku di tempatnya, tidak bisa maju tidak bisa mundur."
Black hole adalah bintang yang setelah proses thermonuklir-nya padam, runtuh ke dalam karena kekuatan gravitasinya sendiri sehingga cahaya pun tersedot, tidak bisa memancar keluar, maka menjadi gelap dan hitam. Menurut Martin Rees, dalam Our Cosmic Habitat, ruang angkasa "dilobangi" oleh terbentuknya black holes. Istilah ini persis dengan isyarat Al Qur'an dalam surat At-Thariq (86) ayat 1-3, "Demi langit dan yang datang pada malam hari, tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (yaitu) bintang yang cahayanya melobangi."
Kata tsaqib dalam bahasa Arab artinya membuat lubang kecil seperti dengan jarum atau paku. Jadi rupanya Allah swt mengungkapkan rahasia-rahasia alam ciptaan-Nya dalam Al Qur'an dengan cara menarik rasa penasaran kita terhadap kalimat-kalimat tertentu. Bila kita pasif saja, tentu tak akan menemukan hikmah lebih dalam. Islam akan bisa maju bersaing di dunia nila para ilmuwan Muslim senantiasa kritis menggali ungkapan-ungkapan tersembunyi dalam ayat-ayat Al Qur'an.
3. Penutup
Hubungan antara agama dan sains tidak selalu harmonis. Seorang Skotlandia yang lahir di Beijing, Ian G. Barbour, yang merupakan doctor ilmu fisika lulusan Universitas Chicago sekaligus pemegang ijazah teologi, meneliti dan mengelompokkan hubungan antara sains dan agama ke dalam empat pendekatan, yakni: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Keempatnya didasarkan pada premis bahwa baik sains maupun agama diakui klaim kognitif masing-masing dalam deskripsi tentang alam fisik.
Integrasi, di mana kemitraan yang lebih sistematis dilakukan secara ekstensif antara sains dan agama dalam mencari titik temu antara keduanya. Dalam integrasi, doktrin tertentu keyakinan agama dirumuskan kembali dengan argumentasi penjelasan ilmiah. Integrasi berlangsung ketika system filosofi filsafat proses digunakan untuk menafsirkan pemikiran ilmiah dan agama dalam kerangka konseptual bersama. Seperti teori black hole yang dipopulerkan oleh Stephen Hawking disambut oleh agamawan dan dianggap membenarkan terhadap ayat al-Qur'an oleh Harun Yahya.
Pendekatan integrasi ini agak berbeda dengan apologetic, dimana teori ilmiah digunakan untuk mendukung kebenaran kitab suci. Memang ada pihak yang enggan menyandarkan kebenaran agama kepada teori ilmiah karena bisa berubah-ubah. Walaupun ada pendapat bahwa perubahan terjadi adalah dalam rangkaian gerak maju yang semakin mendekati titik temu antara sains dan agama. Misalnya penafsiran kata dzarrah dalam surat Al Zalzalah yang di zaman Nabi SAW diartikan biji sawi, saat ini diartikan atom, mengikuti gambaran model Niels Bohr, yakni inti yang dikelilingi electron. Ketika muncul prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam teori kuantum, pengertian dzarrah perlu direvisi lagi. Bukan berarti kebenaran Al-qur'an yang berubah-ubah, tetapi pemaknaan kreatif yang bergeser secara dinamis. Itu sah dalam konteks integrasi sains dan agama.
Daftar Pustaka
Al-hassan, ahmad Y, dan Donald R. hill., 1993, Teknologi dalam Sejarah Islam, Bandung: Mizan Pustaka.
Anugraha, Rinto NQZ., 2005, Pengantar Teori Relativitas dan Kosmologi, Yogyakarta: Gajah mada University Press.
Bagir, Zainal abidin., 2005, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan Pustaka.
Golshani, Mehdi., 2004, Melacak Jejak Tuhan Dalam Sains; Tafsir Islami Atas Sains, Bandung: Mizan Pustaka.
Kusumamihardja, Supan., 1978, Studia Islamica, Jakarta: Girimukti Pasaka.
Pranggono, Bambang., 2005, Percikan Sains dalam Al Qur'an, Bandung: Khazanah Intelektual.
Strathern, Paul., 2004, Stephen Hawking dan Lubang Hitam (Black Holes), Surabaya: Ikon teralitera.
Wardhana, Wisnu Arya., 2004, Al Qur'an dan Energi Nuklir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
[1] Bagir, Zainal bagir., et.al., 2005, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan Pustaka, hal 41-42.
[2] Golshani, Mahdi., 2004, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains; Tafsir Islami atas Sains, Bandung: Mizan pustaka, hal 8.
[3] Ibid., hal 23-27.
[4] Ibid., hal 125-126.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mas/mbak maaf saya mengambil tulisan anda buat tugas kuliah sory yeh...........