Rabu, 27 Juni 2007

Seminar

Revitalisasi Gagasan Tentang Islamisasi Sains
dan Kaitannya Dengan Integrasi Sains dan Islam[1]

Oleh : Muhammad Farchani Rosyid[2]

Bagi umat Islam, sains bukan saja penting sebagai penuntun perkembangan teknologi, tetapi lebih daripada itu, ia (jikalau disikapi secara tepat) merupakan salah satu wasilah guna menambah keimanan, kecintaan dan kedekatan kepada Sang Khaliq, pencipta jagad raya ini. Allah berfirman dalam surat Fushilat ayat ke 53,

“Akan kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan dalam diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itulah yang benar”.

Dalam firman-Nya yang lain,

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar)”
(Q. 3 : Ali Imran ayat 190)”

Selain itu, peningkatan pemahaman kita mengenai alam semesta berbuah peningkatan derajad kemanusiaan kita di mata Allah sebagaimana yang tersirat dalam firmannya di surat Al-Mujaadalah ayat 11,

“… Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad …”

Di beberapa surat dalam Al-Qur’an, Allah telah menegaskan bahwa tiada keraguan akan kebenaran Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yakni orang-orang yang nantinya mendapatkan kemudahan dalam segala permasalahan mereka (At Talaq ayat 4 dan 24). Selanjutnya, tidak dipungkiri lagi bahwa Al Qur’an secara lengkap telah memuat semua peraturan yang harus diikuti oleh orang-orang yang ingin selamat baik di dunia maupun di akherat kelak. Walaupun demikian, Al Qur’an tidak secara rinci (detail) memuat peraturan-peraturan yang dimaksud. Rincian peraturan tersebut harus dipelajari dari Rosulullah, yakni dari penjelasan dan tauladan yang diberikan olehnya. Itulah salah satu urgensi kerasulan Muhammad saw (Al-Ahzab ayat 21). Contoh yang sangat gamblang adalah perintah sholat. Al-Qur’an sendiri memuat perintah sholat :

“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” ( Q.2: Al-Baqorah ayat 43 ).

Perincian tentang sholat –cara sholat, macam-macam sholat dan perlu tidaknya berwudlu– tidak disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Tiada satupun ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara masalah ini. Cara sholat, macam-macam sholat dan manfaat sholat dijelaskan oleh Rosul-Nya melalui hadits-hadits. Misalnya :

“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku sholat” (Al-Hadits),

“Sholat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar” (Al-Hadits).

Jadi, dalam masalah ini, yang dituliskan dalam Al-Qur’an hanyalah garis besar semata, sedang penjabarannya secara rinci diperoleh dari penjelasan dan contoh yang diberikan oleh Rosulullah saw.

Dalam hubungannya dengan sains, Al-Qur’an pun menyinggung gejala-gejala alamiah. Misalnya :

“Dan tidaklah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya”
(Q .21 : Al-Ambiyaa’ ayat 30 ).
“Dan langit (ruang angkasa) itu Kami bangun dengan kekuatan dan Kamilah sesungguhnya yang meluaskannya“ (Q. 51 : Adz-Dzariyat 47 ).
“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tetumbuhan, zaitun, korma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan ayat-ayat Allah bagi kaum yang menggunakan pikirannya. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari serta bulan untukmu, dan bintang-bintang itu ditundukkan dengan perintahNya. Sesungguhnya pada gejala-gejala itu terdapat ayat-ayat Allah bagi yang menggunakan akalnya“ (Q. 16 : An-Nahl ayat 11 dan 12 ).

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan yang pertama, begitulah Kami akan mengulanginya.“ (Al-Anbiya’:104)

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain, dan (demikian pula) langit. Dan mereka semuanya (berkumpul di padang Mahsyar) menghadap kehadirat Allah yang Maha Esa lagi Mahaperkasa. Dan kamu akan melihat orang-orang yang berdosa pada hari itu diikat bergandengan dengan belenggu. Pakaian mereka adalah dari pelangkin (ter), dan muka mereka tertutup api.“ (Ibrahim : 48-50)

“Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh.“ (An-Insyqaq :1-2).

“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat, bilakah terjadinya? Katakanlah,’Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat ada di sisi Tuhanku. Tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di
langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah,’Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Kiamat itu ada di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.“ (Al-A’raf;187).
Dalam hal ini, Al-Qur’an juga tidak memuat rincian lengkap tentang cara Allah memisahkan langit dan bumi, tidak pula memuat tentang keterpaduan antara langit dan bumi sebelum dipisahkan. Al-Qur’an juga tidak secara rinci membahas kekuatan yang dipakai untuk membangun ruang angkasa dan makna perluasan jagat raya. Al-Quran tentu saja juga tidak membahas tentang jaringan transportasi nutrisi dalam tumbuh-tumbuhan. Tidak diterangkan pula rincian sunatullah (hukum) yang padanya malam dan siang, matahari serta bulan dan bintang-bintang tunduk patuh. Jadi, dalam masalah sains pun Al-Quran hanya menyebutkan fakta-fakta yang sepotong-sepotong (kalau tidak boleh dikatakan sedikit). Tiada rincian yang yang diberikan oleh-Nya. Tetapi yang perlu kita yakini adalah bahwa tentang gejala alamiah yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an adalah benar adanya. Lalu, dari mana dan bagaimana kita dapat memperoleh rincian tentang sunatullah itu? Dari penjelasan Rosul-Nya? Namun, tidak satupun penjelasan Rosulullah yang secara rinci berbicara masalah itu. Bahkan, pada suatu riwayat disebutkan bahwa Rosulullah telah menyampaikan nasehat yang keliru tentang cara menanam kurma kepada salah seorang sahabatnya, sehingga menyebabkan rusaknya kebun kurma sahabat itu. Jadi, rincian lengkap tentang sunatullah haruslah kita usahakan sendiri dengan melakukan penelitin (tandzuru) dan penalaran (tafakur) secara berkesinambungan.
1. Sains Dalam Pengertian Yang Menyeluruh
Di kalangan kita, sains diartikan sebagai segala hal yang termuat dalam buku-buku sains. Dalam pandangan ini, sains dimengerti sebagai kumpulan informasi tentang fakta-fakta dan hipotesa-hipotesa ilmiah yang terkait dengan gejala-gejala alamiah. Namun, persepsi ini terlalu sempit. Hal itu mudah dipahami karena dewasa ini sejatinya kita masih berstatus sebagai konsumen sains. Sains sesungguhnya tersusun atas empat unsur, bukan hanya sekedar kumpulan fakta-fakta dan hipotesa-hipotesa ilmiah, tetapi merupakan keterpaduan dari empat unsur itu (Kitcher, P., 1982,). Keempat unsur sains itu adalah nilai-nilai ilmiah (scientific values), sikap dan perilaku ilmiah (scientific attitudes), proses-proses ilmiah (scientific processes) dan kandungan ilmiah (scientific content). Keempatnya terpadu dalam jalinan yang mekanis dan metabolis : Nilai-nilai ilmiah membentuk sikap dan perilaku ilmiah para ilmuwan. Sikap dan perilaku ilmiah menyebabkan seorang ilmuwan melakukan proses-proses ilmiah. Proses-proses ilmiah –dengan melibatkan fakta-fakta serta hipotesa-hipotesa ilmiah yang telah ada (sebagai premis)– menghasilkan kandungan ilmiah yang baru berupa fakta-fakta ilmiah dan hipotesa-hipotesa ilmiah yang baru. Terlihat bahwa kandungan ilmiah bersifat dinamis (yakni berkembang/berubah dari waktu ke waktu). Oleh karena itu, penguasaan sains oleh suatu komunitas berarti kemampuan komunitas tersebut untuk terlibat dalam proses-proses ilmiah pengembangan sains. Jadi, penguasaan sains oleh suatu komunitas tidak semata-mata berarti pemahaman fakta-fakta sains yang dimuat dalam buku-buku sains oleh komunitas itu. Pengertian sains yang komprehensif semacam ini (yakni sains sebagai keterpaduan yang mekanis dan metabolis antara nilai-nilai ilmiah, sikap serta perilaku ilmiah, proses-proses ilmiah dan kandungan ilmiah) sejalan dengan firman-firman Allah yang disinggung pada bagian sebelumnya. Firman-firman Allah itu tidaklah memerintahkan kepada kita untuk hanya sekedar menjadi konsumen sains, melainkan lebih daripada itu, yakni memerintahkan kita untuk menjadi ilmuwan.
Pengertian sains semacam ini sejalan dengan perintah-perintah Allah untuk melakukan observasi (tandzuru) dan penalaran (tafakur) secara berkesinambungan sebagaimana dalam ayat-ayat yang diungkapkan di atas. Jadi, bersains adalah perintah Islam.
2. Islamisasi Sains
Wacana yang mengiringi kerisauan akan hubungan Islam dan ilmu pengetahuan adalah islamisasi sains. “Islamisasi sains” menurut Shafiq merupakan terma yang kurang tepat, mengingat pengetahuan adalah suci dan merupakan anugerah dari Allah SWT [Shafiq, 2001]. Mengetahui adalah salah satu sifat-Nya, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu (Al-‘alim). Manusia menjadi makhluk yang penting karena mereka dikaruniai oleh-Nya kemampuan untuk mengetahui. Bagi manusia, sifat mengetahui (‘ilm) sama pentingnya dengan eksistensi kediriannya. Dengan menggunakan daya intelek (‘aql) dan rasionya, manusia dapat menemukan fakta-fakta baru dan, oleh karenanya, mampu menggali pengetahuan yang lebih dalam lagi. Al-Quran sangat sering menggunakan terma ‘ilm dan turunannya. Selanjutnya, banyak cendekiawan membedakan terma Al-‘alim dengan ‘ilm, untuk menegaskan bahwa yang pertama mengacu pada pengetahuan sejati (wahyu) sedang terma kedua merujuk pada pengetahuan manusia. Jadi terdapat dua macam pengetahuan : Al-‘alim al qadim (pengetahuan yang diwahyukan) dan Al-‘alim al hadith (pengetahuan). Wahyu (revealation) adalah kalam Allah, dan kalam adalah makhluk-Nya. Wahyu dan dunia berasal dari-Nya, sehingga antara keduanya tidak dapat dipertentangkan. Kalau kita melihat kontradiksi, maka itu jelas merupakan kesalahan kita dalam menafsirkan pernyataan-pernyataan Al-Qur’an atau ketidaktepatan analisis rasional dan empirik kita atas dasar data-data yang salah. Islamisasi ilmu pengetahuan dalam konteks ini, berarti proses menguji kembali dua sumber pengetahuan tersebut (penafsiran agama terhadap pengetahuan wahyu dan sains) untuk menggantikan berbagai kontradiksi yang muncul. Sebagian penafsiran-penafsiran agama dan sains yang diterima pada suatu saat sebagai suatu kebenaran ternyata terbukti salah.
Menurut Ismail Raji al-Faruqi (salah seorang penggagas islamisasi sains), masalah wahyu versus rasio dan otoritas skriptural versus sains tidak terdapat dalam Islam, karena konflik bukanlah antara Islam dan sains, tetapi antara interpretasi-interpretasi Al-Qur’an dan sains modern. Apa yang digagas oleh islamisasi pengetetahuan adalah penyusunan dan pembangunan kembali disiplin kemanusiaan, sosial dan ilmu pengetahuan alam dengan memberinya dasar baru yang konsisten dengan Islam.
Namun, menurut hemat penulis, terma islamisasi sains adalah terma yang tepat sepanjang sains dipahami secara komprehensif (sebagai tersusun atas empat unsur) dan Islam kita tempatkan sebagai dien (bukan agama atau religion menurut barat). Paling tidak terdapat dua persoalan yang mengharuskan kita untuk melakukan islamisasi sains. Pertama, kegayutan sains dewasa ini pada suatu sistem nilai (dan sains itu sendiri adalah sistem nilai sebagaimana telah disebutkan di atas). Kedua adalah marginalisasi dan bahkan eksklusi wahyu serta sabda rasulullah dari lingkaran premis. Islamisasi sains menurut penulis mencakup dua hal : peninjauan dan penyusunan kembali sistem nilai ilmiah sedemikian sehingga diperoleh nilai-nilai ilmiah yang koheren dengan Islam dan “diperkenankannya” pengambilan wahyu serta sabda-sabda rasul sebagai premis (yakni desekulerisasi premis) di samping fakta-fakta ilmiah yang telah didapat sebelumnya. Tentu saja dalam pengambilan wahyu dan sabda rasululah sebagai premis tidak terlepas
Sains
Islam
Sains islami
Gambar 1
islamisasi
Islamdari tafsir, sedangkan penafsiran terhadap wahyu selalu berkembang. Jadi, sebagaimana fakta-fakta dan hipotesa-hipotesa qauniyah, fakta-fakta dan hipotesa-hipotesa qauliyah pun bersifat dinamis. Tetapi, hal ini justru menempatkan wahyu dan sabda rasul sama kuatnya dengan premis-premis yang lain. Kabar gembira berikutnya adalah terciptanya umpan balik bagi perkembangan tafsir itu sendiri.
3. Integrasi Sains dan Islam
Sementara itu, istilah interkoneksi dan integrasi sains dan Islam mengesankan Islam dan sains sebagai dua hal yang sederajad dan tidak perlu mengalami penyesuaian (modifikasi). Istilah interkoneksi dan integrasi sains dan Islam juga mengesankan adanya koherensi antara dua sistem nilai itu (Islam dan sains) atau paling tidak ketiadaan kontradiksi antara unsur-unsurnya. Hasil integrasi sains dan Islam diharapkan berupa suatu sistem nilai baru yang lebih luas cakupannya bila keduanya memang koheren dan sains tidak tersubordinasi oleh Islam atau dua sistem yang paralel tidak bertentantangan satu terhadap yang lain. Masalahnya, benarkah keduannya koheren atau paling tidak tiada kontradiksi satu terhadap yang lain? Oleh karena itu, koherensi antara sains dan Islam ke depannya masih akan menjadi isu yang hangat.
Bila memang Islam dan sains itu koheren dan sains tidak tersubordinasi oleh Islam, maka tentu ada sistem yang lebih besar (baca : lebih sempurna) yang merupakan perpaduan antara Islam dan sains. Jadi, permasalahannya kembali kepada maksimalitas Islam sebagai sistem nilai. Yakni, apakah Islam sebagai sistem nilai tidak tersubordinasi oleh sistem yang lain. Tetapi Allah telah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 3, artinya
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu (dien-mu) dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku”
Jadi, Islam telah dikatakan oleh Allah sebagai dien yang sempurna. Hal ini membantah keberadaan sistem lain yang mensubordinasi Islam.
Gambar 2
Islam-Sains (ataukah Sains-Islam?)
Sains
Islam
Islam
Sains
Nothing!
? Kemungkinan berikutnya, sains dan Islam tidak kontradiktif dan tidak koheren sehingga. Sulit mengatakan bahwa hasil integrasi semacam ini menghasilkan suatu sistem filsafat. Jawaban satu-satunya adalah perlu adanya modifikasi. Ini tidak lain kembali kepada islamisasi sains.
Daftar Pustaka

Kitcher, P., 1982, Abusing science : The case against creationisme, MIT Press. Cambridge Mass.
Shafiq, M., 2000, Mendidik Generasi Baru Muslim (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[1] Disampaikan pada Launching Pusat Studi Integrasi dan Interkoneksi Teknosains dan Islam, 5
September 2006 di Hotel Sahid, Yogyakarta
[2] - Dosen luar biasa di Fakultas Tarbiyah dan Saintek UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Dosen tetap di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
- Aktifis Institut untuk Sains di Yogyakarta (I-Es-Ye)

Tidak ada komentar: