Rabu, 27 Juni 2007

Hasil Pencarian

KOSMOLOGI MODERN DAN PROSPEK ISLAM
Sebuah Dialog tentang Pencarian Pengetahuan
Bruno Guiderdoni
(Direktur Pusat Riset Institut Astrofisika Paris)


Abstraksi

Saya berpandangan bahwa prospek metafisika Islam dapat memberi petunjuk – petunjuk kepada seorang kosmolog untuk menafsirkan kemungkinan makna dari penemuan – penemuan yang di lahirkan oleh sains modern. Dalam konteks itulah, ceramah ini membahas beberapa keberhasilan teknisi dan teka- teki kosmologi dalam kaitannya dengan ajarana – ajaran Islam mengenai sifat dasar realitas : intelijibilitas alam semeta, ketertalaan yang cermat ( fine- tuning ) pada penyusunan struktur alam semesta, dan universalitas hukum – hokum fisika.peniadaan penjelasan – penjelasan yang berhubungan denga klausa final kini menjadi inti perkembangan kosmologi modern. Menurut saya, hal ini menyeret kita pada penjelajahan jagat raya tanpa akhir. Menurut mistisisme Islam , kosmos merupakan salah satu lokus penyingkapan –diri Tuhan dan fenomena baru akan terus-menerus muncul. Sebagai akibatnya , pencarian pengetahuan dalam prospek Islam pun tak akan ada habisnya. Artikulasi sains da agama dapat dijumpai dalam “ konvergensi” metafisis dari jalan yang berbeda – beda menuju satu realitas yang sama. Terakhir, saya menekankan perebdaan antara sains dan agama pada ranah akhirat dan signifikansi rasa syukur, ketakutan, dan kebinggungan sebagai tiga modus sikap yang senantiasa mengiringi pencarian pengetahuan.

Esai

Bagaimana penjelasan kosmologi modern tentang semesta bisa bersesuain dengan pandangan – dunia yang digagas pemikiran islam selama Abad Pertengahan? Dapatkah kita nyatakan bahwa doktrin-doktrin Islam bisa menarik perhatian seorang kosmolog dewasa ini? Seperti apakah karakter ”hubungan” antara agama dan sains pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kosmologi? Saya berpendapat bahwa prospek metafisika Islamlah yang bisa memberi petunjuk-petunjuk untuk memahami makna dari penemuan-penemuan yang dilahirkan oleh sains modern. Dalam konteks itu, ceramah ini akan membahas kemungkinan penafsiran atas beberapa keberhasilan dan teka-teki kosmologi modern, dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran Islam tentang sifat-dasar realitas.

Menurut sebuah gagasan yang lazim diterima, sains berhubungan dengan “fakta-fakta”, sedangkan agama berhubungan dengan “makna-makna”. Jika sains mencoba menjawab pertanyaan ”bagaimana” dan agama menjawab pertanyaan “mengapa”, seharusnya tidak ada pertentangan diantara keduanya. Sayangnya, kenyataan tidak sesederhana itu. Benar bahwa sains berkaitan dengan kausa efisien dan agama berhubungan dengan kausa final, mengutip kata-kata teknis filsafat Aristotelian. Namun, kecenderungan umum dalam perkembangan sains adalah kausa efisien “meminggirkan” kausa final dan pada akhirnya bahkan melenyapkannya.

Pergantian secara progresif penjelasan yang berkaitan dengan kausa final dengan penjelasan yang berkaitan dengan kausa efisien telah berlangsung di dunia Barat sejak masa Renaisans. Pada Abad Pertengahan, orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam memiliki pandangan-dunia yang sama, meskipun terdapat persengketaan berlarut-larut dan perdebatan seru mengenai masalah-masalah kosmologi. Kaum beriman di Abad Pertengahan tidak hanya melihat hal-hal dan fenomena di sekitar mereka, tetapi terutama merenungkan tanda-tanda dan mencari penyingkapan spiritual melalui kajian mereka tehadap kosnos. Zaman sintesis antara kosmologi Aristoteian-Ptolemik dan ajaran kitab-kitab suci di Abad Pertengahan telah berlalu dan perkembangan sains modern membawa krisis spiritual yang parah di Barat. Manusia telah kehilangan posisinya dari pusat kosmos dan tergusur ke sebuah planet biasa yang mengorbit sebuah bintang biasa dalam sebuah galaki biasa yang terletak di suatu tempat pada keluasan ruang angkasa yang lengang. Sains seperti itu bebas-nilai dan sama sekali hampa-makna. Meminjam kata-kata Claude Levi-Strauss, “Sesungguhnya alam semesta hanya mempunyai makna di mata manusia, sedangkan manusia tidak mempunyai makna apa pun.”

Pertentangan antar sains dan agama berakhir di dunia Barat saat agama mengakui bahwa kosmologi tidak ada hubungannya dengan agama. Sesungguhnya, alasan mengapa kedua bidang ini tidak bersinggungan adalah karena sains telah mejajah seluruh “realitas”. Demi tujuan itu, sains mendefinisikan “realitas” hanya sesuatu yang bisa dipelajari secara ilmiah. Para teolog dewasa ini harus menjelaskan mengapa Tuhan seolah-olah bersembunyi di balik tirai fenomena yang pekat. Gagasan-gagasan seperti kenosis dan tsimtsum yang tumbuh dalam pemikiran teologis Kristen dan Yahudi mengalami kebangkitan kembali secara mengagumkan dan kimi digunakan para teolog dari kalangan itu untuk menjelaskan mengapa Tuhan beristirahat dan membiarkan jagat raya diatur oleh hukum-hukumnya sendiri, tanpa intervensi langsung yang bersifat ketuhanan. Penekanan diletakkan pada kemandirian (relatif) yang dianugerahkan Tuhan kepada hukum-hukum alam dan pada kebebasan (relatif) yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.

Sebagaimana diketahui, tradisi Islam selalu mengajarkan bahwa Tuhan itu dekat dan terus-menerus bekerja dalam Penciptaan. “Setiap saat Dia dalam kesibukan.” Maka, para teolog Muslim tidak mungkin dapat mengikuti jalan para teolog Barat yang menuju pada sebuah citra Pencipta yang membiarkan ciptaan-Nya bertindak sendiri dengan kemandirian yang begitu besar, sehingga akhirnya Dia menjadi sejenis Deus Otiosus baru, baik karena kehendak maupun karrena pengetahuan-Nya akan kelemahan manusia. Tuhan bersembunyi, tetapi Dia pun tampak-sesuai dengan asma-Nya yang indah: Al-Zhahir wa Al- Bathin. Sang Pencipta begitu agung hingga ciptaan-Nya tak bercacat. Namun, Dia pun tampak dalam dan melalui segala ciptaan-Nya.

Misteri mendasar yang melingkupi fisika dan kosmologi adalah kenyataan bahwa duania bersifat intelijibel. Bagi orang yang beriman, dunia ini intelijibel karena ia diciptakan. Al-Quran mendorong kita untuk memikirkan dan merenungkan ciptaan untuk menemukan jejak-jejak Sang Pencipta dalam keselarasan ciptaan-Nya. Oleh kare itu, ayat yang termasuk dalam kelompok ayat yang disebut “ayat-ayat kosmologi” –yang sering dikutip sebagai salah satu bukti keajaiban intelektual dalam ayat Al-Quran-berbunyi : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan dalam pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu mereka yang mengigat Tuhan sedang berdiri, duduk dan berbaring, dan memikirkan penciptaan langit dan bumi, seraya berkata, ‘Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau! Lindungilah kami dari sisa api neraka. ‘”Eksplorasi dunia amat dianjurkan, dengan syarat sang penjelajah cukup bijak untuk mengakui bahwa keselarasan yang ada di jagat raya ini bersumber pada Tuhan. Dengan menatap kosmos, intelegensi yang diberikan Tuhan dalam diri kita akan terus-menerus bertemu dengan intelegensi yang dipergunakan-Nya dalam mencipta benda-benda. Al-Quran menyebut keteraturan yang ada di dunia ini sebagai berikut: Sebagaimana “tak akan kamu temukan perubahan dalam Sunnah Allah”, maka “tak ada perubahan dalam fitrah (ciptaan)Tuhan “. Tentu ini bukan berarti bahwa ciptaan kekal adanya, tetapi terdapat ”stabilitas” dalam penciptaan yang mencerminkan kekekalan Tuhan. Perhatian para pembaca (Al-Quran) pun akan tertari pada “aspek numerik” keteraturan kosmik. Al-Quran berkata:”Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan yang saksama (husban).” Maka, seorang kosmolog Muslim tidak akan terkejut ketika mendapatkan hukum-hukum fisika yang kita susun dan gunakan untuk mendeskripsikan keteraturan kosmik ternyata berdasarkan hitungan matematis.

Kita hidup dalam zaman yang sangat istimewa bagi pemahaman atas struktur dan sejarah kosmos. Dalam dekade-dekade terakhir, telah terjadi terobosan menakjubkan, terutama berkat perkembangan luar biasa teknik-teknik observasi. Sebagai hasilnya, kita memperoleh kekayaan berupa gambar-gambar baru alam semesta dan kitalah generasi pertama yang berkesempatan merenungkannya: gambar bumi dalam kegelapan angkasa, berbagai tampilan permukaan planet-planet dan satelit-satelit lain dalam sistem tata surya, pemetaan galaksi pada seluruh rentang panjang gelombang, penemuan fenomena yang berkekuatan dahsyat seperti meledaknya bintang, atau sensus yang potensial mengungkap miliaran galaksi jauh dengan penelitian mendalam. Kini, kita memiliki akses untuk mengukur jarak, waktu, dan struktur yang benar-benar tak terpikirkan pada Abad Pertengahan, ketika seorang astronom Arab, Al- Farghani, menghitung jarak ke ‘Arsy (Singgasana) Allah dengan perkiraan kosmologi Ptolemik dan memperoleh angka 120 juta kilometer. Gambar-gambar baru ini telah benar-benar mengubah kesadaran kita terhadap kosmos.

Untuk memahami struktur alam semesta, para kosmolog harus menelusuri sejarahnya. Sejarah ini secara teoretis direkonstruksi dari data-data yang ada, dengan mengunakan hitungan matematis yang pelik. Sudah pasti banyak spekulasi yang berani dan gagasan gila dalam penafsira-penafsiran tersebut. Namun, realitas tetap tak terhinggakan dan tidak semua teori cocok dengan fakta-fakta. Sebaliknya, teori standar kini tampak sebagai alat yang mempuni untuk membawa kita pada penemuan-penemuan baru. Ringkasnya, para kosmolog kini menduga bahwa alam semesta ini berekspansi (berkembang) dan ekspansinya dimulai dari tahapan yang panas dan pekat yang disebut Ledakan Besar (Big Bang). Selama ekspansi itu, materi atau muatan radiasi jagat raya bercampur dan mendingin, dari komposisi relatif berbagai jenis partikel dasar berubah. Sekitar seratus detik setelah Ledakan Besar, nuklei cahaya mulai terbentuk. Kira-kira satu juta tahun setelahnya, alam semesta ini menjadi netral dan transparan, dan cahaya terpancar oleh apa yang dinamakan last scattering surface (permukaan hamburan terakhir) di masa itu, diobservasi sebagai 2.725 K radiasi black body (benda hitam) pada Cosmic Microwave Background (Latar Belakang Gelombang Mikro). Kini, sejarah ini didokumentasikan dengan baik, tetapi ada sejumlah soal yang terus-menerus menjadi teka-teki, yang ketidakmampuan kita untuk memecahkannya kemungkinan memberi isyarat tentang struktur metafisis dan realitas. Berikut ini, secara singkat akan saya sebutkan dua di antara teka-teki itu.

Teka-teki pertama berkaitan dengan ketertalaan yang cermat (fine-tuning) dalam susunan struktur jagat raya. Wilayah yang terpisah oleh lebih dari 30 derajat pada permukaan hamburan terakhir belum pernah mengalami hubungan sebab-akibat sebelumnya dan pasti memiliki temperatur yang berbeda-beda, bertolak belakang dengan isotropi luar biasa yang secara aktual terukur. Inilah yang dinamakan “masalah isotropi”. Lebih jauh, kerapatan semesta mendekati kesatuan dan geometri ruang hampir-hampir berbentuk datar, mengingat seluruh nilai parameter kerapatan secara a priori adalah mungkin. Inilah yang dinamakan “masalah kedataran”. Akibatnya, alam semesta yang bisa terobservasi ini tampaknya muncul dari serangkaian kondisi awal yang sangat khas. Pararel dengan itu, kini jelas bahwa pola-pola itu merupakan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi munculnya kompleksitas dalam alam semesta. Seandainya parameter kerapatan terlampau besar, maka akan terjadi keruntuhan terlalu cepat, dalam skala waktu yang jauh lebih singkat dibanding waktu-binta (stellar lifetimes) yang dibutuhkan bagi pengayaan kimiawi dengan medium antarbintang (interstellar medium) dan pembentukan planet-planet berikutnya. Sebaliknya, parameter kerapatan yang sangat rendah akan menghasilkan sebuah alam semesta yang rapuh, dengan struktur-struktur bermassa rendah yang tak mampu mempertahankan gas mereka. Tentu saja, penjelasan filosofis yang berkenaan dengan kausa pinang dapat digunakan untuk memaknai ketertalaan yang cermat seperti ini (dan kebetulan-kebetulan kosmik lainnya yang dihimpun di bawah istilah prinsip antropik). Bisa jadi ini karena campur tangan Tuhan, dengan kenungkinan religius, atau kecenderungan alamiah materi menuju penataan -diri

Tidak ada komentar: